OPINI: Jalan Tengah Spin-off Asuransi Syariah
Advertisement
Banyak jalan menuju Roma, itulah yang mengambarkan industri asuransi syariah saat ini. Kontroversi spin off Unit Usaha Syariah (UUS) memunculkan pihak pro dan kontra namun tetap satu tujuan membesarkan industri asuransi syariah.
Revisi pasal 87 Undang-Undang (UU) 40/2014 tentang perasuransian menjadi klimaks tak berujung. Biang keladinya adalah kewajiban spin off minimal 50% dari dana asuransi induknya atau 10 tahun sejak diundangkannya (17 oktober 2024).
Advertisement
Pihak pro menyakini dengan dalilnya, spin off akan memperbesar skala bisnis dan laju pertumbuhan industri. Bahkan, Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin juga sempat melontarkan pernyataan agar UUS tetap spin off.
Sedangkan, yang kontra mengatakan justru akan mematikan UUS bermodal “dhuafa” dan terjadinya inefisiensi operasional.
Berkaca pada kawasan Timur Tengah dan Malaysia yang mayoritas penduduknya Islam, memang sudah tidak menggunakan window system, namun tidak sedikit juga yang merger dan akuisisi (M&A) setelah spin off akibat inefisiensi. Diantaranya, akuisisi Noor Takaful Family dan Noor General oleh Dar Al Takaful serta merger Salama UAE dengan Takaful Amarat.
Sebenarnya, sebelum 2020 polemik ini belum memanas. Tetapi, seiring dampak pandemi Covid-19 dan ketidakpastian ekonomi dalam negeri serta global membuat api berkobar cepat.
Kehadiran UU 04/2023 tentang Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan (PPSK) yang baru disahkan Presiden beberapa waktu lalu, menjadi kado awal tahun. UU-PPSK telah mengubah pasal 87 dan menjadi wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menentukan persyaratan spin off .
Bola liar yang di passing ke OJK harus segera digoalkan dalam 6 bulan sejak UU di tetapkan. OJK harus membuat peraturan turunan.
Untuk tujuan yang lebih substantif, ada lima hal yang perlu diperhatikan OJK. Pertama, mempertajam POJK 67/2016 tentang perizinan dan kelembagaan perusahaan asuransi. Dalam dua tahun terakhir rancangan perubahan POJK ini sudah mencuat. Sehingga tidak perlu membuat peraturan baru agar lebih efisien dan tepat waktu.
OJK dapat mengubah beberapa ketentuan tentang spin off termasuk teknis pelaksanannya dan menambahkan ketentuan yang relevan berdasarkan masukan dari praktisi industri dan akademisi.
Rumusan Kebijakan
Kedua, penyesuaian syarat spin off. OJK dapat mengapus tenggang waktu dan mengubah porsi dana tabarru dan dana investasi peserta pada pasal 17 ayat 1 POJK 67/2016 yang semula 50% menjadi 20% -30% dari dana asuransi perusahaan induknya. Alasannya, sampai saat ini saja perolehan kedua dana tersebut masih dibawah 2% dari rata-rata dana asuransi industri.
Batasan syarat tersebut mengimplikasikan juga ada minimal kontribusi premi yang harus dipenuhi agar perusahaan mampu membiayai operasional. Menurut Tatang Nurhidayat (2021), bahwa kontribusi premi asuransi umum syariah yang dikategorikan cukup untuk spin off minimal Rp.100 miliar dan menurut Young Indonesian Insurance Profesionals (YIIPs, 2022) sebesar Rp.300 miliar untuk asuransi jiwa syariah.
Ketiga, sharing service. Bagi yang spin off dengan pendirian perusahaan baru, tentunya masih harus disapih. OJK dapat memberikan keringanan untuk menggunakan platform induknya seperti information teknologi, jaringan cabang, dan infrastruktur lainnya.
Sementara itu, pada perbankan syariah sudah diatur dengan POJK 28/2019 tentang sinergi perbankan dalam satu kepemilikan. Sudah selayaknya OJK juga menerapkan yang sama pada perasuransian.
Keempat, minimalis pengurus dan karyawan perusahaan. Kondisi struktur organisasi (SO) yang ideal pada awal pendirian, terdiri dari 40-50 karyawan belum termasuk pengurus.
Keluhan dilapangan selama ini adalah mengenai jumlah direksi dan komisaris. Harapannya, dengan tiga direksi cukup dan komisaris dapat merangkap Dewan Pengawas Syariah (DPS). Sejatinya, tugas DPS hampir sama dengan komisaris di perusahaan non syariah.
Kelima, mendorong komitmen pemegang saham dan manajemen untuk lebih serius membesarkan UUS bagi yang tidak spin off. Contohnya, penambahan modal bertahap dan perlunya pelekatan nama “syariah” pada jabatan direktur yang membawahi UUS.
Tidak hanya itu, pengembangan SO juga penting. Saat ini, hampir semua UUS setingkat bagian. OJK dirasa wajib membuat ketentuan bahwa UUS dapat setingkat divisi.
Keenam, insentif konsolidasi. Portofolio transfer karena ke perusahaan lain, pendirian perusahaan baru, dan M&A memunculkan pelbagai beban. OJK dapat memberikan insentif seperti pengurangan pajak, minimal peringkat investasi calon pemegang saham, proses dan syarat perizinan dan sebagainya.
Melihat berbagai aspek diatas, tentunya, dapat menjadi jalan tengah atas pilihan spin off ataupun tidak. Bagi yang mampu untuk menyegarakan dan yang belum agar dapat tumbuh bersama. Keduanya harus saling mendukung sesuai prinsip asuransi syariah itu sendiri. Pada akhirnya kita dapat membesarkan industri asuransi syariah ke arah yang lebih kuat dan bermanfaat bagi umat dan bangsa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Pemerintah Naikkan PPN Jadi 12%, PHRI Bantul Minta Pemerintah Kaji Ulang
Advertisement
Lesti Kejora, Juicy Luicy, Nadhif Basalamah hingga Elvy Sukaesih Akan Memeriahkan Panggung Malam Puncak Indonesian Music Awards 2024
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement